Kita sering mendengar nasihat:
“Sekolah yang pintar agar mudah mendapatkan pekerjaan”.Lalu apakah nasihat itu relevan untuk kondisi saat ini?
Banyak orangtua yang memberikan nasihat tersebut kepada anaknya, termasuk orangtua saya sendiri. Nasihat tersebut secara tidak langsung menuntut kita untuk memberikan prestasi akademik yang begus. Parahnya, prestasi non akademik yang cemerlang seringkali diabaikan jika tidak mampu memiliki daya saing akademik yang mumpuni. Tidak heran jika hampir semua siswa, bahkan mahasiswa sekalipun mengupayakan sekuat tenaga untuk memperoleh rekam jejak akademik yang menarik. Kebanyakan dari mereka menganggap bahwa kegiatan non akademik tidak memberikan banyak pengaruh bagi kehidupan pasca kampus.
Mengejar prestasi akademik yang cemerlang tidaklah buruk, jika dikemudian hari ingin menjadi orang yang ahli di bidangnya, seperti menjadi peneliti, atau seorang penemu. Perlu diingat bahwa kehidupan setelah kampus tidak ada lagi transkrip akademik. Deretan nilai A yang tertulis di selembar kertas kelulusan tidak selalu memberikan banyak arti.
Setelah menyelesaikan studinya, pada akhirnya seorang mahasiswa akan kembali kedalam masyarakat. Nilai-nilai kehidupan bermasyarakat akan jauh lebih berguna daripada sekedar IPK, Termasuk di dunia kerja. Disisi yang lain, IPK yang tinggi memberikan indikasi bahwa seseorang memiliki kemauan yang keras, berdedikasi, dan berkomitmen tinggi. Semua itu akan sangat berarti dalam kehidupan kampus, namun dunia kerja dan masyarakat juga membutuhkan seseorang yang mampu memimpin dan bekerjasama dengan baik dalam tim.
Jika seseorang memilih mendedikasikan ilmunya yang telah ia peroleh di universitas ke sebuah perusahaan, IPK yang telah ia perjuangkan bisa banyak berguna pada tahap awal seleksi. Banyak perusahaan yang mensyaratkan calon karyawannya untuk memiliki IPK dengan nilai tertentu. Namun proses setelahnya kemampuan individu berbicara cukup banyak ketika wawancara.
Pada tahun 2015, Korach dan Alex Kendall melakukan penelitian untuk mencaritahu faktor apa yang mempengaruhi diterima atau tidaknya mahasiswa Miami University setelah lulus. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa IPK menjadi pertimbangan perusahaan untuk menerima seorang lulusan baru, meski bukan menjadi pertimbangan teratas. Pengalaman kerja dan Kemampuan memimpin menjadi alasan teratas sebelum IPK.
Mengejar prestasi akademik yang cemerlang tidaklah buruk, jika dikemudian hari ingin menjadi orang yang ahli di bidangnya, seperti menjadi peneliti, atau seorang penemu. Perlu diingat bahwa kehidupan setelah kampus tidak ada lagi transkrip akademik. Deretan nilai A yang tertulis di selembar kertas kelulusan tidak selalu memberikan banyak arti.
Setelah menyelesaikan studinya, pada akhirnya seorang mahasiswa akan kembali kedalam masyarakat. Nilai-nilai kehidupan bermasyarakat akan jauh lebih berguna daripada sekedar IPK, Termasuk di dunia kerja. Disisi yang lain, IPK yang tinggi memberikan indikasi bahwa seseorang memiliki kemauan yang keras, berdedikasi, dan berkomitmen tinggi. Semua itu akan sangat berarti dalam kehidupan kampus, namun dunia kerja dan masyarakat juga membutuhkan seseorang yang mampu memimpin dan bekerjasama dengan baik dalam tim.
Jika seseorang memilih mendedikasikan ilmunya yang telah ia peroleh di universitas ke sebuah perusahaan, IPK yang telah ia perjuangkan bisa banyak berguna pada tahap awal seleksi. Banyak perusahaan yang mensyaratkan calon karyawannya untuk memiliki IPK dengan nilai tertentu. Namun proses setelahnya kemampuan individu berbicara cukup banyak ketika wawancara.
Pada tahun 2015, Korach dan Alex Kendall melakukan penelitian untuk mencaritahu faktor apa yang mempengaruhi diterima atau tidaknya mahasiswa Miami University setelah lulus. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa IPK menjadi pertimbangan perusahaan untuk menerima seorang lulusan baru, meski bukan menjadi pertimbangan teratas. Pengalaman kerja dan Kemampuan memimpin menjadi alasan teratas sebelum IPK.
Hasil penelitian Korach dan Alex Kendall di Miami University pada tahun 2015 |
Lulusan yang memiliki pengalaman magang dan memiliki ketrampilan khusus biasanya memiliki peluang yang lebih baik daripada lulusan yang hanya sekedar memiliki IPK.
Saya ingin berbagi cerita tentang apa yang saya dan teman-teman saya lalui setelah melewati kehidupan kampus.
Pada saat menjadi mahasiswa, saya bukanlah orang yang menonjol dalam akademik, namun cukup aktif mengikuti organisasi, dan pelatihan keahlian khusus pada bidang yang saya sukai. Tidak seperti kebanyakan teman-teman saya yang sangat antusias tentang apapun yang berhubungan dengan bidang akademik, saya jauh leih tertarik untuk berpetualang mencari pengalaman magang di perusahaan yang bergerak pada bidang yang saya minati.
Di kampus yang berbeda, saya memiliki bebreapa teman yang satu jurusan dengan saya, dia sangat rajin dan pandai. Bahkan menjadi lulusan terbaik di jurusannya pada saat dia wisuda. Dia sangat menginspirasi saya dalam urusan akademik. Pada awalnya saya berfikir bahwa setelah selesai masa studinya dia akan dengan mudah mendapatkan pekerjaan. Tapi ternyata hingga tahun pertama setelah masa studinya, tidak ada satu perusahaanpun yang menerimanya. Dia selalu gagal di tahap wawancara. Berdasarkan cerita yang dia ceritakan, dia cukup payah dalam memimpin dan berbicara di depan umum. Setelah berkali-kali gagal dalam wawancara, dia pun mulai putus asa. Beruntungnya dia cepat menyadari kesalahannya dan segera membenahi apa yang seharusnya dibenahi. Kegagalan demi kegagalan yang telah ia peroleh membuatnya sadar bahwa dunia kerja dan masyarakat butuh lebih dari sekedar IPK.
Cerita berbeda saya peroleh dari teman-teman saya yang memiliki prestasi akademik pas-pasan, namun memiliki kemampuan lain yang tidak dimiliki oleh mereka lulusan dengan deretan nilai A. Pada tahap awal seleksi mereka sering menyayangkan perusahaan yang mensyaratkan pelamarnya memiliki IPK tinggi, namun untunglah tidak semua perusahaan memiliki syarat seperti itu.
Singkat cerita, mereka akhirnya melamar pekerjaan pada perusahaan yang tidak memiliki syarat IPK, tahap awal mereka bersaing ketat dengan lulusan A. Namun kemudian pada tahap wawancara hingga tahap akhir, mereka bisa bersaing mudah dengan mahasiswa tipe A yang lolos pada tahap yang sama. Kemampuan individu yang dimiliki mereka memberikan nilai lebih dibandingkan mahasiswa yang hanya mengandalkan IPK.
Keaktifannya dalam organisasi pada saat menjadi mahasiswa membuatnya terbisa dalam menghadapi masalah dan memecahkannya. Pengalaman magangnya juga memberikan nilai lebih pada penguasaan bidang tertentu. Faktor tersebutlah yang menjadi pembeda yang cukup kontras antara mahasisa tipe A dengan mahasiswa yang akademiknya biasa saja namun memiliki keampuan individu yang lebih baik.
Sebagai kesimpulan, pada tahap awal IPK cukup memberikan banyak arti dalam bersaing mendapatkan pekerjaan, meski setelahnya kemampuan individu lebih banyak mempengaruhi. IPK hanyalah indicator berupa angka, bukan penentu keberhasilan seseorang. Tak semua orang yang memiliki IPK rendah gagal dalam kariernya, namun justru jauh lebih berhasil dibandingkan mereka yang memiliki IPK tinggi.
ConversionConversion EmoticonEmoticon